Sabtu, 07 Mei 2011

Mereka Meneriakiku, “Koruptor!”

JUARA III LOMBA CERPEN TINGKAT NASIONAL dengan tema "BANGKIT HUKUM INDONESIA" tahun 2008.

bermula dari hobi nulis, akhirnya terlahirlah sebuah cerpen. niatnya sih iseng..mengisi waktu luang, trus ga pake biaya lagi, padahal hadiahnya cukup menggiurkan. Ga nyangka bakal dapat juara III, apalagi ini bertaraf Nasional padahal gaya bahasanya amatiran banget.. pastinya seneng banget, dapet 1 juta bow..untuk ukuran mahasiswa saat itu, berasa kaya ketiban rejeki dah..semoga aja tulisan ini bermanfaat buat semuanya.

SINOPSIS

Cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan seorang PNS yang melakukan tindak pidana korupsi dengan mengambil sebagian dana bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk kebutuhan hidupnya karena terdesak. Cerpen ini ga nyebutin satu namapun dari tiap tokoh yang ada, karena cerpen ini lebih terfokus pada penyampaian perasaan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi yang menyadari banyaknya tindak pidana korupsi lainnya disekitarnya sehingga merasakan ketidakadilan. Cerpen ini juga mengungkapkan cara pandang, perhatiaannya terhadap bangsa ini dan perenungan sang (PNS) koruptor tersebut yang pada akhirnya justru menyadari kesalahannya ketika ia mencoba mencari kesalahan orang lain yang versi sang (PNS) koruptor ini adalah seorang koruptor pula. Gol yang aku niatin dari cerpen ini mau nyadarin diriku sendiri dan para pembacanya akan hal-hal yang dianggap kecil tetapi sebenarnya telah merugikan dan akar dari tumbuhnya tindak pidana korupsi, makanya akhir dari cerpen inipun merupakan ungkapan harapan dan cita-cita sang PNS yang korup itu untuk mengubah jalan hidupnya, hidup keluarganya dengan harapan kelak menjadi awal perubahan perilaku bangsa ini. Cerpen inipun mengungkapkan hukuman yang diterima seorang koruptor baik itu hukuman yang dijatuhkan oleh hakim maupun hukum yang menyerang moral sang koruptor. tujuannya supaya setiap pembacanya dapat merasakan hal terburuk yang dirasakan sang koruptor meskipun ia pernah merasakan hal baik dari hasil korupsinya. Aku ngarepnya dengan bentuk penyajian kaya gini, pembaca menyadari bahwa korupsi itu sangat buruk, sebaik apapun hasil yang pernah diberikan dari korupsi. Cerpen ini banyak berbicara mengenai integritas, moral dan peran serta tanggung jawab seorang abdi Negara. Harapanku Cerpen ini membawa dampak yang positif bagi setiap orang yang ngebacanya. Berhubung ini tulisan amatiran, pastilah hasilnya jauh dari sempurna.. gimana, setelah baca sinopsinya kira-kira tertarik ga bacanya?? tulisan ini sekaligus warning juga sih buatku, supaya ga salah langkah. yang pengen baca critanya, monggo.. semoga menginspirasi para pembaca..Selamat membaca teman!


Mereka Meneriakiku, "KORUPTOR!"
by: Shanty Sofiarli Sagala.


Memang bukan alasan, tetapi masalah perekonomian keluarga telah membuatku salah langkah. Menjadi tulang punggung dua keluarga, keluargaku bersama anak dan istriku serta keluargaku bersama ayah dan ibuku menyudutkan posisiku..disatu sisi aku ingin bekerja dengan seluruh daya dan upayaku serta menjadi seseorang yang berintegritas, bermoral baik.

Tapi disisi lain, anakku harus sekolah, dapurku harus berasap, dan ayah ibuku tidak lagi mampu bekerja..Bagaimana aku sanggup membiayai perawatan ayahku yang sudah beberapa tahun ini harus check-up rutin ke rumah sakit dan entah berapa banyak telah keluar masuk rumah sakit untuk rawat inap. Akupun mulai memasukkan sebagian dana bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS) ke rekening pribadiku. Aku memang bejat! Tapi gajiku sebagai PNS tidaklah cukup untuk semua tuntutan hidup yang menghimpitku. Aku sadar diri, aku hanya ingin hidup sederhana, makan selayaknya. Aku tidak mengeluh, kalau hanya tahu dan tempe yang bisa kuberikan untuk keluargaku, tapi tidak ada yang memihakku, pemerintahpun tidak! Kesanggupanku tetap harus diusik harga bahan makanan yang terus naik membumbung tinggi. Sekali aku bertanya, Tuhan… salahkah aku?


Tuhan memang tidak mengizinkan aku tersesat terlalu jauh…Akupun dibawa ke Kantor Polisi atas aduan seorang rekan kerjaku. Tanganku diborgol! Berat rasanya berjalan melewati orang-orang yang begitu aku sayangi dengan kondisi seperti ini. Aku dikawal polisi menuju sebuah mobil dengan sirene di atasnya. Anak istriku menangis, mata ibuku basah tanpa suara dan banyak mata memandang jijik padaku, mereka meneriakiku, “ koruptor!!”. Aku tahu, ayahku yang terbaring di kamarnya saat itupun tersayat hatinya. Kali ini aku berhenti bertanya dan bersujud, Tuhan..aku bersalah…ampunilah aku!

Pemeriksaan polisi sungguh membuatku tersudut. Aku merasa orang yang paling buruk di dunia. Ya..aku memang mengambil uang yang bukan hakku, aku mengambilnya berpuluh kali lipat dari gaji yang bisa kuterima sebagai PNS, ya..berpuluh kali lipat dari gajiku. Tekanan dihatiku tak tertahankan, aku meratap, “berapa banyakkah uang yang kudapat dari ‘berpuluh kali lipat dari gajiku’ sebagai PNS, gaji seorang Kepala Sekolah Negeri?”

Lagi-lagi aku menghakimi moralku, aku memang bejat! Aku telah merugikan bangsa ini, Negara dimana aku dilahirkan. Tetapi egoku berusaha membelaku dan mempertanyakan, seberapa besar bangsa ini telah menghargai setiap usaha dan perjuangan kaumku, mendidik setiap orang yang disebut generasi penerus bangsa? Benarkah kami pencetak generasi penerus bangsa ini yang kelak akan memimpin bangsa ini? Sebesar itukah peranan kami untuk bangsa ini? Tapi mengapa aku merasa aku dan kaumku tidak menjadi bagian dari statistik masyarakat sejahtera bangsa ini? Jika sebesar itu peranan kami, mengapa nasib kami seolah-olah terlupakan dari fokus pemerintah disetiap penyusunan Rencana Anggaran dan Belanja Negara? Aku lelah bertanya, kutarik nafasku sedalam-dalamnya. Di dalam benakku aku memohon, Tuhan…kuatkan aku!

Ternyata untuk memeriksaku butuh waktu yang sangat panjang. Akupun ditahan di sebuah Rumah Tahanan, bergabung dengan banyak orang yang mungkin sedang menunggu nasib dari ketukan palu pak hakim. Ditahan ditempat seperti ini sungguh menyiksa batinku, teringat akan anak istriku dan kedua orang tuaku, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup mereka? Tuhanku, jikapun Engkau marah karena kejahatanku, akankah Engkau tetap menjaga keluargaku? Aku hanya mampu berserah di hadapanMu…sujudku dihadapanNya.

Ditahan berhari-hari telah membuatku banyak merenungi perjalanan hidupku. Terkadang aku mulai mengutuki diriku yang telah salah langkah, namun terkadang pula aku mencari pembenaran diri dengan melihat kehidupan nyata di sekitarku. Ingin rasanya aku mencibir setiap kali aku melihat sipir yang biasa menghinaku dengan meneriakiku koruptor, ternyata begitu seringnya menerima sejumlah uang dari beberapa tahanan yang cukup ternama agar difasilitasi. Tidak heran kalau kamar yang dihuni tahanan tersebut sangat jauh berbeda dengan tahanan lain. Kamar itu hanya untuk dirinya seorang, dilengkapi beberapa barang-barang elektronik, TV, Kulkas, AC dan lainnya. Seumur hidup aku tidak pernah menyangka, di tempat seburuk ini, masih ada kamar mewah yang disediakan untuk tahanan, “Ah, sipir itu tidak pantas meneriakiku, koruptor!”, pikirku. Tadinya aku hendak meneriakinya kembali, menyadarkannya betapa rendahnya moral yang dimilikinya. Tapi kuurungkan niatku, “mungkin kami punya nasib yang sama, terhimpit dengan masalah perekonomian” ujarku di dalam hati.

Istri dan anak-anakku cukup rajin menjengukku selama di tahan di Rutan ini. Aku benar-benar bersyukur dianugerahi keluarga ini, dan akupun terpuruk dalam penyesalanku. Aku telah membuat hidup mereka menderita, aku telah membuat anak-anakku malu. Apa yang dapat mereka banggakan dari ayah seorang koruptor?

Jam kunjungan telah berakhir, setiap penjenguk harus meninggalkan tempat kunjungan ini. Ya..terkecuali punya uang untuk disalamkan kepada sipenjaga, maka akan diberikan waktu ekstra untuk kunjungan, dan aku tidak punya uang itu. Lagi-lagi aku merasa muak…seolah-olah menjadi orang yang paling sial didunia. Kesialanku ialah aku tertangkap di tengah-tengah banyaknya kejahatan di dunia ini. Aku digiring kembali menuju kamarku.

Waktu istirahat telah tiba, aku boleh memasuki sebuah ruangan dengan beberapa fasilitas elektronik, TV misalnya. Aku dan beberapa tahanan lainnya mulai menyetel siaran televisi. Selama ditahan, aku tidak mengetahui perkembangan berita di negaraku ini, akupun menyetel siaran berita. Terlihat gedung DPR/MPR yang sedang dipenuhi para pejabat yang disebut-sebut sebagai wakil rakyat, orang-orang yang dipercayakan menerima, menyampaikan dan pada akhirnya menanggapi aspirasi rakyat. Tentu Negara tidak mengeluarkan sedikit uang untuk pertemuan itu, mereka pejabat, mana mungkin dibayar rendah. Tentulah ini pertemuan penting. Tapi apa yang kusaksikan? Tidak sedikit pejabat-pejabat yang berintelektual tinggi itu yang tertidur, ada pula yang fokus dengan koran yang sedang dibacanya bahkan ada yang sedang tertawa sambil menelepon. Mungkinkah aku menyampaikan kepedihan hidupku kepada wakil rakyat ini? Menurut versiku, mereka tidak beda denganku, mereka merugikan ‘keuangan Negara ataupun merugikan perekonomian Negara’. Aku mengetahui istilah itu dari seringnya polisi yang memeriksaku menyebutkan hal itu didepanku sambil menyebutkan pasal yang dikenai kepadaku dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metodenya memang beda, tapi dampaknya sama. Aku mengambil uang yang bukan hakku, dan pejabat itu menikmati uang rakyat yang hanya layak mereka nikmati jika mereka benar-benar mengerjakan pekerjaan mereka, dan menurutku, tidur, membaca Koran, ngobrol ditelepon saat rapat yang membahas mengenai kepentingan rakyat bukanlah tindakan yang menyebabkan Negara harus menggaji mereka. Dengan perkataan lain, pejabat-pejabat itu hanya makan gaji buta. Apakah itu tidak merugikan keuangan Negara? Ah, berapa besar gaji yang mereka peroleh setiap bulannya? Berapa besar uang Negara yang telah mereka nikmati setiap bulannya? Tentunya sangat besar dan jauh dari jumlah gajiku sebagai Kepala Sekolah Negeri. Tetapi mereka hanya bersenang-senang, mereka tidak bekerja dengan benar, mereka hanya makan gaji buta! Mengapa tidak ada yang meneriaki mereka koruptor!? Apakah kata-kata di Pasal per Pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu ditujukan hanya untukku? Sudahlah….aku muak! Aku ingin tidur.

Pagipun menjelang. Pagi ini cukup cerah, aku berharap pemeriksaanku dilanjutkan dengan cepat. Dadaku terasa sesak setiap kali menghitung jumlah hari aku berada di tahanan ini, itu sama saja dengan aku menghitung jumlah hari aku tidak menafkahi keluargaku. Aku meminjam Koran dari sipir yang sedang menikmati kopi paginya. Aku hampir terbahak-bahak melihat berita pagi ini. Seorang mantan pejabat yang diduga kuat terkait kasus korupsi, terpilih sebagai pejabat baru di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sementara palu hakim belum diketuk untuk menentukan apakah aku maupun pejabat itu bersalah, aku mendekam ditahanan tanpa mampu melakukan apapun untuk menafkahi keluargaku, di lain pihak si mantan pejabat justru sedang merayakan terpilihnya dia sebagai pejabat baru di PSSI, ironis sekali…. Dan tentu saja, seorang pejabat baru PSSI tidak akan diteriaki, koruptor!


Kehadiran ibuku di ruang kunjungan Rutan ini sungguh menyayat hatiku. Aku mengerti betapa pedihnya hatinya melihat anaknya ditahan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Aku menanyakan kabar ayahku padanya, dan seperti biasanya, kesehatannya tidak mengalami perkembangan. Ayahku masih tetap terbaring di tempat tidurnya, tidak mampu melakukan aktivitas apapun setelah stroke kedua yang dialaminya beberapa tahun lalu. Aku benar-benar ingin menolong ayahku, aku ingin dia sembuh.

Aku jadi teringat terakhir kali aku membawanya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, ayah dibawa ke ruang UGD, sementara itu dokter sedikitpun belum memeriksa bahkan menyentuh ayah, aku dipanggil untuk mengurus administrasinya. Aku menyebutkan kalau aku pengguna Asuransi Kesehatan karena aku adalah PNS. Setelah itu, aku diminta untuk mengisi data dan sang dokter tidak kunjung datang memeriksa. Lama setelah itu, ada seorang lagi datang ke UGD, dan kemudian menunggu sang dokter. Tidak lama setelah itu, sang dokter muncul dan menangani pasien baru tersebut. Alangkah kecewanya aku yang menunggu sedari tadi, tetapi dokter mengacuhkan dan memilih pasien baru. Apakah dikarenakan aku pengguna ASKES? Tidak hanya itu, ternyata tidak semua fasilitas rumah sakit diberikan cuma-cuma dengan ASKES tersebut, sehingga aku harus mengumpulkan banyak uang untuk membayar sebagian biaya yang dikenakan padaku. Seminim itukah dana bantuan kesehatan yang diberikan pemerintah? Ataukah telah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang bernasib lebih baik dariku, tidak diteriaki, koruptor!?

Ketika anak sulungku menderita demam berdarah saat wabah demam berdarah sedang mewabah di berbagai daerah, pemerintah menjanjikan biaya pengobatan gratis untuk penderita demam berdarah. Nyatanya akupun masih tetap harus membayar. Apakah pemerintah hanya membual, atau lagi-lagi dananya disalahgunakan?
Kalau diberi kesempatan mengungkapkan seluruh pertanyaanku, masih banyak yang ingin kusampaikan. Mengapa mengurus Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk masih harus dikenai biaya? Bukankah pemerintah telah menjanjikannya cuma-cuma? Aku jadi teringat kepada pegawai-pegawai Kantor Kepala Desa di daerahku yang turut meneriakiku, koruptor! Berapa banyak uang yang telah mereka peroleh dari setiap orang yang mengurus Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan surat-surat lainnya? Apakah uang itu hanyalah bentuk tanda terimakasih?

Kembali aku teringat dengan daerah dimana aku bertempat tinggal. Aku memang seorang pemerhati, aku memperhatikan perusahaan-perusahaan besar yang terlalu sering diprotes masyarakat setempat akibat limbah yang merusak lingkungan. Tapi entah mengapa, itu hanya berakhir sebagai sebuah demonstrasi saja, dan semuanya berakhir, perusahaan tetap berjalan dengan baik-baik saja dengan kesalahan yang sama. Di sisi lain aku juga melihat kehidupan kepala daerahku yang sangat makmur, dia bukan pengusaha sukses, tetapi entah telah beberapa kali seluruh keluarganya bergonta-ganti mobil. Aku kembali mengingat di hari pernikahan putri sang kepala daerah, desas desus menyebutkan kepala perusahan perusak lingkungan itu memberikan hadiah yang sangat fantastis, sebuah mobil sepertinya. Apakah ini juga masih tergolong tanda ucapan selamat, ataukah ini dapat disamakan dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Ataukah tanpa sepengetahuanku, sang kepala daerahpun pernah diteriaki, koruptor!!? Sama sepertiku….?

Ah, mengapa aku menjadi seorang yang menghakimi orang lain dengan pandangan-pandanganku? Apakah hukum di Negeri ini bagiku tidak begitu pintar untuk mengungkap semua kejahatan yang ada? Jikapun demikian, apakah aku seolah-olah lupa di atas segalanya ada Hukum yang kekal, Hukum Tuhan. Dari sejak kecil orangtuaku selalu berkata, Hukum Tuhan adalah benar dan adil. Benarkah aku telah lupa?

Seminggu menjelang persidanganku, seorang mantan presiden negeri ini meninggal dunia. Hukum mengatakan bahwa ia terlibat kasus korupsi yang cukup besar yang desas desusnya dilakukan semasa pemimpinannya terdahulu. Aku tidak tahu, apakah semasa hidupnyapun pernah diteriaki, koruptor!? Apakah dia memiliki nasib yang sama denganku? Tentunya tidak! Terbukti dia tidak ditahan seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi ia sakit, hukum tidak dapat menjangkaunya! Apakah sebaiknya akupun sakit? Tak kusangka, ketika ia meninggal, banyak orang berduka, padahal ia koruptor! Aku teringat beberapa tahun lalu, ketika terdapat desas-desus untuk menutup kasus korupsi mantan presiden tersebut dengan alasan dia telah banyak berjasa untuk bangsa ini, aku tersenyum kecut. Benarkah jasa seseorang dapat menutupi kejahatan yang telah dilakukannya? Jika seorang mantan pemimpin Negara dapat diampuni kejahatannya atas jasanya kepada bangsa, terlebih lagi aku, seorang kepala sekolah negeri, yang adalah guru, pencetak penerus bangsa ini, pencetak pemimpin bangsa ini, tentulah memiliki jasa yang sangat besar pula. Tanpa aku adakah pemimpin-pemimpin bangsa yang berjasa itu muncul? Akankah akupun beroleh pengampunan dengan menutup kejahatan, kekhilafanku yang paling bodoh seumur hidupku ini? Dan ketika akupun lelah, aku sakit, akankah banyak orang mendoakan kesembuhanku? Dan jika nasibku berakhir seperti si mantan pemimpin Negara itu, meninggal dengan kasus yang belum terselesaikan itu, akankah orang-orangpun akan berduka dan berhenti meneriakiku, koruptor!!? Ah..sudahlah, aku lelah!

Hari ini putusan sidangku dibacakan. Aku dijatuhi pidana lima tahun penjara serta diwajibkan membayar denda dengan jumlah yang sangat besar. Dadaku sesak, mataku basah, tapi hatiku masih bersyukur dihadapanNya, aku tahu Dia mengampuniku. Meskipun banyak pertanyaan yang kusimpan dihatiku mengenai fakta-fakta yang tidak dijangkau, tidak terjangkau ataupun tidak ingin dijangkau oleh hukum, namun untuk kehidupan pribadiku, integritasku, aku mengakui kesalahanku. Aku mengakui kedangkalan berfikirku yang tega mengambil hak orang lain untuk keperluan kehidupan pribadiku meskipun aku terdesak.

Pagi ini adalah Pagi yang ketiga puluh setelah aku dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Anak-anakku mengunjungiku dan membawakanku makanan, masakan istriku. Akupun melepas rinduku kepada mereka. Dengan semangat mereka menceritakan aktivitas sekolah mereka yang sepertinya menyenangkan, tapi aku tahu ada bagian yang tidak diceritakan. Bukan karena terlupa, tetapi menjaga perasaanku agar tidak semakin tersayat.

Ketika mereka menanyakan kabarku, aku tak ingin menutupi apapun. Kukatakan aku menderita, sungguh amat menderita. Aku merasa sangat tersiksa. Sangat berat berada dipenjara, dan ini akan kualami selama lima tahun dan harta bendakupun telah habis untuk membayar denda. Aku menunjukkan penderitaanku di depan anak-anakku, dan kutunjukkan pula penyesalanku dihadapan mereka. Aku ingin mereka belajar dari kisah hidupku, belajar dari kesalahanku agar kelak mereka tidak jatuh di lubang yang sama.

Di tengah pembicaraan kami, aku mengungkapkan kekecawaanku atas fakta-fakta yang terjadi yang menurutku tidak adil, tetapi aku tidak lupa untuk menasehati mereka agar tidak menirunya, tetapi memberantasnya dan menegakkan keadilan. Aku tunjukkan kemarahanku atas kekecewaanku, tetapi aku juga mengatakan aku adalah bagian dari orang-orang jahat itu. Aku berharap kelak mereka dapat melihat tidak hanya yang baik, tetapi mereka mampu melihat yang benar.

Ketika kami mulai bercerita mengenai keluarga, mengenai kakek mereka yang tidak kunjung sembuh, biaya pengobatan yang tinggi, ibu yang sedang berjuang menyekolahkan mereka dan kebutuhan hidup lainnya, mataku basah kembali. Akupun berkata, “Dulu ketika ayah korupsi, ayah memang menjadi mampu menutupi sedikit dari kebutuhan hidup kita. Tetapi sekarang, ketika kebenaran ditegakkan, jangankan sedikit, bahkan ayah tidak mampu berbuat apa-apa untuk hidup keluarga kita.” Aku ingin menunjukkan pada mereka betapa ruginya berbuat kejahatan. Tidak ada yang baik dari sebuah kejahatan.

Waktu berkunjung hampir habis, anak-anakku bertanya apa harapanku atas mereka. Akupun menjawab, aku ingin kalian memiliki integritas hidup yang benar yang sempat kukhianati dulu. Ketika mereka bertanya, “jika kami dihadapkan pada himpitan hidup yang sama, apa yang harus kami lakukan?” akupun kembali menjawab, “berjuanglah lebih keras lagi dan berserahlah dihadapanNya.” Aku sempat melupakan hal kedua dari penyataanku itu, pengharapan! Aku pernah muak dengan para koruptor di Negara ini dan menghakimi mereka dengan cara pandangku, dan aku berharap kelak generasi selanjutnya tidak memandang muak terhadap aku dan keluargaku. Para koruptor memang memuakkan! Tapi aku tidak mampu memberantasnya dengan kedua tanganku, tetapi aku mampu mencegahnya dari kehidupan keluargaku dengan pendidikan ilmu pengetahuan, moral dan spiritual. Aku meyakini, perubahan bangsa ini hanya dapat dimulai dari perubahan seorang insan dan keluarganya, itu yang disebut pengharapan! Semoga bangsa ini mampu segera bangkit dari keterpurukannya terutama dari korupsi.

-THE END_


begitulah kisahnya.
sebagai penulis cerita, pastinya aku bener-bener berharap tidak akan jatuh diposisi tokoh utama cerpen ini. Tapi kuakui memang, beban hidup terkadang membuat kita mengambil langkah yang salah. semoga cerpen tadi menginspirasi kita..Ga ada manusia yang sempurna didunia ini, tapi kita juga harus belajar yakin sih kalau sebenarnya Tuhanpun ga ngasih beban melebihi kekuatan kita sendiri.. Mudah mengungkapkannya, Tapi sangat-sangat teramat sulit melaksanakannya..tetap berjuang ya teman-teman, ga ada yang mustahil di dunia ini.
SEMANGAT!!



-shanshan si pemikir-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar