Sabtu, 07 Mei 2011

AKU PEREMPUAN..DAN AKU BISA!

Sebuah karya dalam lomba menulis sebuah karya tentang perjuangan kaum wanita mengangkat harkat dan martabatnya dalam acara menyambut hari Kartini tahun 2009 silam, sayangnya saya lupa mengirimkannya ^_^

kisahnya tentang diriku sendiri..
sama sekali tidak berniat menyombong atau berpuas diri dari apapun yang pernah atau telah diraih hingga saat ini, hanya berbangga terlahir sebagai seorang perempuan dan sebagai apa adanya diriku dulu hingga saat ini..karna semua hanya oleh ANUGERAH-NYA.
Selamat membaca!



AKU PEREMPUAN..dan AKU BISA!

Perkenalkan! Aku perempuan….

Aku dianugerahkan Tuhan dalam suatu keluarga Batak di kota Medan. Ayah dan Ibuku berprofesi sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar Negeri di daerah tempat tinggal keluargaku saat ini. Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang keempatnya adalah perempuan. Sebagaimana budaya Batak yang sifatnya Patrilineal, tanpa adanya anak laki-laki dalam keluarga Batak, marga (sebutan nama keluarga dalam suku Batak) yang dimiliki tidak akan dapat dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Karena peranan anak laki-laki dinilai sangat besar, maka sangat disayangkan di dalam keluarga Batak jika tidak terdapat anak laki-laki, bahkan pandangan demikian masih dirasakan meskipun zaman semakin maju. Demikian juga yang kami alami, baik dari pandangan orang Batak di lingkungan tempat tinggalku sampai pada sebagian keluarga yang memang bukan keluarga dekatku.

Aku bersyukur dan bangga terhadap kedua orangtuaku. Reaksi dan tanggapan mereka terhadap selintingan cerita-cerita maupun pandangan yang memandang remeh terhadap keluargaku sungguh mengesankan. Jika kepada ayahku ditanyakan bagaimana rasanya dikelilingi para wanita di rumah sebagai bentuk penegasan tidak adanya laki-laki di rumah selain ayah, beliau selalu menjawab, “ah..tidak masalah. Bahkan aku sangat bersyukur dikaruniai keluarga ini. Aku punya istri yang sangat mendukungku, aku punya empat anak perempuan yang cantik-cantik dan membanggakan. Apa lagi yang kurang?” Ketika mendengarkan ungkapan ayah tersebut aku bertekad untuk menjadi boru (sebutan untuk anak perempuan di keluarga Batak) yang membanggakan di setiap apapun yang akan aku lakukan kelak.


Semangat bocah kecil…..
Aku tidak mengecap pendidikan di Taman Kanak-Kanak sebelum duduk di bangku Sekolah Dasar karena orangtuaku yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (saat itu pangkat/golongannya masih rendah) tidak memiliki kemampuan keuangan untuk itu, apalagi aku punya dua orang kakak yang sedang bersekolah. Namun aku selalu ingin cepat-cepat belajar agar aku pintar. Oleh karena itu, aku meminta untuk ikut ibuku setiap ia pergi ke sekolah untuk mengajar (saat itu ibuku mengajar kelas 1 SD). Meskipun aku bukan satu dari siswanya, di kelas aku memperhatikan ibuku yang mengajar dan ikut mempelajari apa yang dia ajarkan kepada murid-muridnya. Proses itu membuatku telah mampu membaca, menulis, dan berhitung sebelum aku mulai bersekolah.

Melihat kemampuanku, ayah mengusulkan agar aku bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Swasta yang memiliki reputasi terbaik di daerahku dengan alasan sekolah tersebut memiliki fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dari sekolah dasar negeri tempat orang tuaku mengajar. Meskipun biaya sekolahku akan terasa mahal, namun kedua orangtuaku tetap bersemangat mendaftarkan aku di sekolah tersebut. Murid-murid yang bersekolah di sana kebanyakan anak dari keluarga yang cukup berada dan merupakan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang menurut pendapat orang sekitar, memiliki kemampuan intelektual yang baik.

Hal ini tidak membuatku pesimis. Semangat orangtuaku mendorongku giat belajar. Satu tekadku, disetiap akhir caturwulan (masa itu kurikulum pendidikan mengenal sistem caturwulan) orangtuaku akan datang ke sekolah untuk menerima penghargaan karena prestasiku. Tuhan pasti mendengarkan doa umatnya yang mau bekerja keras dan mematuhi FirmanNya, harapankupun terkabul. Selama bersekolah di sekolah swasta tersebut, orangtuaku hampir tidak pernah membayar uang sekolah karena aku meraih juara umum dan memperoleh beasiswa berupa pembebasan kewajiban membayar uang sekolah. Kebahagiaan terbesarku ialah ketika melihat ayahku berdiri di podium sekolah memberikan pidatonya sebagai orangtua siswa berprestasi. Dalam hati aku berkata, “Sujud syukurku kepadaMu Tuhanku, saat ini aku melihat senyum kebanggaan di wajah ayahku.” Aku semakin bersyukur ketika melihat ibuku ditengah perkumpulan yang diikutinya ia punya cerita-cerita prestasi anaknya yang dapat ia sampaikan. Aku tetap bersekolah di sekolah tersebut sampai setamatnya dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).. Aku meninggalkan Yayasan sekolahku tersebut dan mendaftarkan diri di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Medan yang disebut-sebut sebagai SMU Negeri terbaik di kota Medan.

Ayah ibuku tetap bangga….
Aku sempat pesimis karena nilai ebtanasku (sistem ujian akhir SLTP saat itu) tergolong biasa-biasa saja dari antara orang-orang yang mendaftar di SMU Negeri 1 Medan. Puji Tuhan, aku diterima meskipun namaku berada pada lembar akhir daftar siswa yang diterima. Tidak segemilang dahulu, di SMU aku tidak menoreh prestasi. Aku merasa sangat bodoh di tengah-tengah lingkungan para jenius. Penerimaan raport pertama di SMU ini aku pulang dan menangis karena merasa tidak membanggakan orangtuaku. Ibuku datang menyambutku pulang dan berkata, “selama kamu terus giat belajar dan berjuang meraih yang terbaik, kamu tetap menjadi boru kebanggaan kami. Jangan pesimis, lebih giat lagi belajar.” Akupun tersadar, betapa sempitnya definisi kebanggaan yang aku artikan selama ini. Kebanggaan orangtuaku tidak sebatas prestasi, tapi kebanggaan yang mereka rasakan ialah ketika anak-anaknya mau belajar dan bekerja keras untuk meraih apa yang dicita-citakan. Akhirnya aku memahami bahwa kebangggaan tidak sebatas hasil, tetapi dirasa pula dari proses meraih hasil tersebut.

Aku berteman.. dan aku punya caraku sendiri…

Semakin hari aku semakin giat berjuang, tidak hanya dalam pelajaran sekolah, akupun mulai menyibukkan diri dikegiatan ekstrakokurikuler sekolah.

Anak-anak sebayaku dilingkunganku menilaiku secara beragam. Ada yang memandang aku sombong karena kebanyakan menghabiskan waktuku di sekolah, ada yang berpendapat aku kutu buku aneh yang suka membaca buku di angkutan umum (butuh waktu 1 jam perjalanan dari sekolahku ke rumah dengan angkutan umum dan aku hobi membaca), dan tanggapan lainnya.

Bukan tidak perduli dengan pendapat orang sekitar, namun aku tidak mau menyesal kelak dengan keputusan-keputusan yang kuambil sekarang. Karena aku sadar siapa diriku nanti adalah hasil dari keputusanku di masa lalu. Aku bukan tidak ingin bergaul, tapi aku hanya membatasi waktu untuk bergaul, aku bukan tidak ingin bermain, tapi aku tidak ingin menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bermain. Di setiap akhir pekan aku tetap bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Tapi sepertinya itu dinilai tidak cukup. Aku punya terlalu banyak mimpi dan harapan, dan tidak banyak teman yang melihatnya sebagai mimpi dan harapan yang layak diharapkan. Mereka berkata kelak akan ada pria yang akan bersamaku, kenapa aku harus berjuang sekeras itu? Biarkan pria itu memenuhinya untukku… Sayangnya aku tidak sependapat. Aku membutuhkan pria itu, tetapi aku tidak akan bergantung sepenuhnya, aku punya pilihan yang dapat kupilih, aku punya kisah yang dapat kujalani, aku ingin bertanggung jawab untuk hidupku dan kepada keluargaku. Seberapa keras mereka mendidikku, aku ingin lebih keras lagi berjuang menjadi kebanggaan mereka…. Itu harapanku. Aku tidak memperumit, aku cuma ingin membuat hidupku lebih berarti dan berguna bagi kehidupan disekitarku.

Pemikiranku ini membuatku lebih nyaman bergaul dengan teman pria daripada teman wanita, sehingga aku lebih banyak berteman dengan para pria, biasanya bepergian bersama di hari libur untuk melakukan pendakian (hiking) atau camping.

aku begitu menyukai kegiatan ini.

Pendidikanku di SMU aku selesaikan dengan baik, meskipun prestasi terbesar yang dapat kuraih hanya sebagai siswa berpredikat sepuluh besar di kelasku. Itupun kuraih menjelang aku mengakhiri masa SMU ku. Aku tidak kecewa, seperti kata ibuku.. karena hasil yang aku peroleh berasal dari kerja kerasku, sepuluh besar itu bernilai tidak sekedar sepuluh besar dan aku harus bangga atasnya. Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi. Tekadku, aku harus masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik! Sayang aku gagal. Aku tidak lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Aku perempuan…aku punya mimpi dan harapan dan aku bisa…
Aku tidak dapat menggambarkan kekecewaanku atas kegagalanku masuk PTN. Aku mencoba menghakimi diriku sendiri, menilai dari tidak serius, terlalu banyak bermain, tidak berjuang. Selanjutnya dengan bodohnya aku menghukum diriku sendiri dengan mengurung diri di rumah, menutup diri dari dunia luar. Orang-orang mulai mengeluarkan komentar-komentarnya ketika aku menyampaikan pada orangtuaku aku akan berjuang di SPMB tahun depan karena aku sudah bertekad, aku harus masuk PTN terbaik dan menuntut ilmu dengan serius disana dan kelak dengan ilmu pengetahuanku itu, aku berjuang meraih cita-citaku sebagai Praktisi Hukum. Aku katakan aku ingin masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta,
sehingga aku harus merantau kelak. Ini dinilai berlebihan oleh orang-orang disekitarku. Mereka menyarankan aku meneruskan pendidikanku di kota ini saja, mengikuti kursus atau kuliah untuk keahlian tertentu, seperti computer, atau ilmu sekretaris dan kelak bekerja di bidang administrasi. Aku tidak ingin itu, aku tidak memandang rendah bidang itu yang memang digeluti perempuan di daerahku, aku menghormatinya. Tetapi aku menyadari tekadku telah kokoh, aku ingin menjadi Praktisi Hukum, yang akan menunjukkan bahwa hukumpun dapat menjadi pedang yang paling tajam jika itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Banyak yang berpendapat aku sedang mempersulit jalanku sendiri, karena aku perempuan. Tapi bersyukur, orangtuaku bukan bagian dari mereka. Aku diizinkan melakukan yang kuinginkan dan berharap aku mengerti apa yang aku mau dan mampu mempertanggungjawabkannya terutama kepada Tuhan empunya hikmat pengetahuan yang abadi.

Sekitar tujuh bulan aku habiskan di rumah mengerjakan pekerjaan rumah dan tentunya BELAJAR. Aku mengulang pelajaranku sendiri. Tiga bula terakhir, aku mengikuti kursus komputer. Aku tidak ingin menjadi orang yang gaptek (gagap teknologi). Tiga bulan menjelang SPMB tahun keduaku, aku mengikuti bimbingan belajar. Puji Tuhan, akhirnya aku lulus di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan telah menyelesaikan studiku disana selama 4 (empat) tahun

dengan Indeks Prestasi Kumulatif yang baik serta telah diwisuda 29 Agustus 2008 lalu.


Tepatnya pada tanggal 25 September 2008, sebulan setelah hari wisudaku, aku mendaftarkan diri sebagai Calon Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (kota domisiliku di KTP adalah Medan, sehingga aku harus mendaftar di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara). Melewati tahap demi tahap seleksi, akhir November 2008 aku dinyatakan lulus seleksi. Tanggal 16 Maret 2009 aku menerima Surat Keputusan sebagai CPNS Kejaksaan RI dan ditempatkan di Kejaksaan Negeri Panyabungan Sumatera Utara selama 2 tahun. Selanjutnya, tinggal menunggu waktu untuk mengikuti langkah-langkah menyusun jenjang karier yang terbaik di Kejaksaan, amin! Perjalanan yang panjang memang… Namun tidak ada kata berhenti untuk belajar dan berjuang. Aku bersyukur, apa yang kuharapkan setahap demi setahap dihadapkan Tuhan dalam kehidupanku.


Teringat akan ucapan seorang teman dekat di daerahku beberapa hari menjelang sidang skripsiku, yang mengucapkan selamat dan mendukungku melalui handphone. Kami bercerita mengenang masa-masa pertemanan kami. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “San, kamu perempuan biasa, tapi kamu berbeda. Kamu selalu berfikiran maju dan positif dan kamu pejuang yang sangat keras kepala. Mungkin aku dan teman-teman adalah orang yang sangat mengagungkan masa remaja karena bisa menikmati waktu-waktu yang menyenangkan, tapi sayang kami lupa akan hal yang penting untuk masa depan kami. Ketika melihat apa yang teman-teman kerjakan saat ini di sini dan apa yang sedang kamu perjuangkan disana, sangat jauh berbeda. Kami bangga padamu. Kelak tetaplah miliki semangat itu. Keberadaanmu pasti akan selalu diperhitungkan dimanapun kamu berada. Tetaplah menjadi perempuan yang tangguh.”


Tidak hanya terbatas pada suku Batak dan berbagai suku-suku lainnya, tetapi pada kenyataannya di Negara kita memang tumbuh sumbur budaya patriakhi. Tetapi hendaknya ini tidak membuat surut tekad para perempuan untuk maju dan berprestasi. Tidak memandang gender laki-laki atau perempuan, seharusnya kita punya semangat untuk menjadi yang terbaik. Laki-laki bisa berprestasi, Perempuanpun bisa! Kodrat sebagai perempuan bukanlah penghalang berprestasi. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan berdampingan.



Jadilah perempuan berprestasi yang akan menjadi pendamping pria terbaikmu.shanshan menanti pasangan terbaiknya.

2 komentar:

  1. ka kalo lulusan sma daftar cpns kejaksaan nantinya jadi apa ya ??//

    BalasHapus
  2. mba boleh saya bertanya ?? saya di jawara.banget@gmail.com

    BalasHapus