Minggu, 24 April 2011

KITA BERBEDA BUKAN UNTUK SALING MEMBEDA-BEDAKAN



Shanshan mencoba menulis lagi


Pagi ini langit begitu cerah, hiruk-pikuk jalanan mulai menunjukkan pagi bukan untuk bersantai, tapi melakukan sesuatu untuk hidup. Sudah lama aku tidak berada di tempat asalku ini, sebuah desa di tengah kota Medan yang penat dengan keragaman masyarakatnya, sangat unik!


Lama berada di perantauan membuatku begitu merindukan tempat ini. Akupun tidak tinggal diam, dan mulai ikut memasuki hiruk-pikuk jalanan pagi ini. Aku melewati sebuah Sekolah Dasar Negeri dan mendengarkan suara seorang guru yang sedang membacakan suatu teks bacaan yang diulangi oleh murid-muridnya, “Selat Sunda menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa….” Mendengar kalimat yang sedang dibacakan tersebut, aku teringat ketika aku masih duduk dibangku sekolah dasar. Aku bersekolah disalah satu sekolah swasta yang berbentuk yayasan dengan mayoritas siswanya adalah Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa, karena baik pemilik yayasan maupun lingkungan sekolahku memang lingkungan kediaman masyarakat WNI keturunan Tionghoa. Saat itu aku sedang belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di buku teks yang sedang aku pelajari tertulis, “Selat Sunda memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa..”Ketika aku membacakan teks itu, guruku memberhentikannya. Kemudian beliau membahasnya di depan kelas. Dia bertanya, “Benarkah Selat Sunda memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa?” Dengan serempak seluruh murid menjawab, “benar, Bu!” “Mengapa demikian?” guruku balik bertanya. “Kalau dilihat di peta Indonesia, Selat Sunda memang memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, Bu!” jawabku dengan bangga. Kemudian guruku meminta kami membuka peta kami masing-masing yang memang diwajibkan dibawa ketika sedang belajar IPS. “Coba perhatikan baik-baik petanya, apakah benar Selat Sunda memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa?” Kami yang tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan guru tersebut, tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “benar, Bu! Memang apa yang salah Bu?” Guruku masih tidak henti-hentinya bertanya, “ada yang bisa menjelaskan mengapa demikian?” Seorang temankupun menjawab, “ Karena di peta digambarkan Selat Sunda sebagai perairan yang terletak di antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa Bu!”

Sang guru akhirnya bertanya demikian, “Apakah perairan yang kita sebut selat itu memang memisahkan dua pulau yang berada diantaranya? Ibu lebih setuju jika selat itu disebut menghubungkan dua buah pulau diantaranya.” Akhirnya kami mengerti apa yang dimaksudkan guru tersebut. Segala sesuatu tergantung cara kita memandang. Kalau selat kita pandang sebagai perairan pemisah dua buah pulau, maka ia akan berfungsi untuk memisahkan. Namun apabila kita memandang selat sebagai penghubung antar dua pulau diantaranya, maka iapun akan berfungsi untuk menghubungkan. Aku tersenyum dan batinku berkata, “untunglah buku teks pelajaran itu telah direvisi.”

Perjalananku kali ini melewati sebuah Gereja, rumah ibadahku. Bangunan ini tetap terlihat kokoh. Aku merasakan kedamaian hati setiap kali melihatnya. Gereja ini juga menyimpan banyak cerita dalam hidupku, termasuk peristiwa malam jelang natal sekitar tujuh atau delapan tahun silam. Ketika itu aku masih duduk dibangku SMU kelas 1. Malam jelang natal seharusnya malam yang membawa kedamaian, pergi ke Gereja, mengumandangkan lagu puji-pujian menyambut Natal, berdoa dan mendengarkan kotbah.

Namun kali ini berbeda, perasaanku tidak sedamai malam natal di tahun-tahun sebelumnya. Gerejaku dijaga ketat beberapa polisi berdinas lengkap. Pengamanan seperti ini dilakukan secara serempak pada banyak Gereja karena Medan dan wilayah sekitarnya sedang bergejolak dengan adanya peristiwa pengiriman parsel bom ke rumah pendeta dan ke Gereja-Gereja. Namun aku percaya, Tuhan akan tetap menjaga umatNya yang mencintai kedamaian. Saat menjelang memasuki gerbang Gereja, aku sungguh terharu. Gerejaku dijaga ketat oleh polisi bersama-sama dengan berpuluh-puluh kaum pria, bapak-bapak dan para pemuda yang aku ketahui pasti bukan jemaat Gerejaku melainkan penduduk setempat yang berbeda keyakinan denganku.

Mereka memberikan senyuman sambil berkata, “selamat Natal,” kepada setiap orang yang melangkah menuju Gereja. Satu lagi pelajaran besar yang aku dapat hari itu, berbeda bukan harus membeda-bedakan, tetapi untuk saling mendukung dan membantu. Saat itu dalam doaku di Gereja, aku memohon kepada Tuhan, sebagaimana aku malam itu menyadari bahwa perbedaan itu akan tetap indah jika saling mengasihi, akupun memohon agar Tuhanpun membuka hati setiap orang untuk memiliki pandangan yang sama agar gejolak di kotaku segera terselesaikan.




Keberadaanku di kota asalku ini karena universitas tempat aku berkuliah di kota Depok sedang libur kenaikan semester dan menyambut tahun baru. Aku kembali ke kotaku untuk merayakan tahun baru bersama keluargaku. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menikmati moment tahun baru bersama dengan orang terdekat, dan aku memilih bersama dengan keluargaku. Pagi ini sebelum pergi ke Gereja untuk ibadah ucapan syukur datangnya tahun yang baru, mama memintaku untuk mengisi piring-piring kosong yang sudah disusun rapi di atas meja dengan berbagai kue-kue kering yang sengaja dibeli mama untuk perayaan tahun baru. Sudah membudaya bagi keluargaku untuk membagi-bagikan kue tahun baru kepada para tetangga, karena keluargaku memang tinggal di lingkungan yang berbeda keyakinan sehingga berbeda pula kebiasaannya dalam menyambut tahun baru ini. Tapi ini bukan ritual searah, karena sehari sebelum perayaan hari raya Lebaran tiap tahunnyapun kami selalu mendapat perlakuan yang sama, mereka berbagi kebahagiaan karena telah melewati masa puasa dan merayakan kemenangannya atas setiap godaan dengan membawa makanan ke beberapa keluarga yang berbeda keyakinan dengan mereka. Terkadang orangtuaku suka bercanda di malam terakhir bulan puasa dengan berkata, “Malam ini kita tidak usah masak, karena pastinya para tetangga akan mengantarkan berbagai masakan,” dan memang itulah yang terjadi kemudian. Mengingat semua hal ini hati kecilku berkata, “seandainya setiap orang menghormati setiap perbedaan yang ada, mereka tentunya akan menikmati keharmonisan hidup seperti yang aku rasakan di lingkunganku ini.”

Perjalananku pagi ini rasanya tidak lengkap kalau tidak mengunjungi pusat penjualan makanan untuk sarapan yang beranekaragam yang terletak di dekat Sekolahku dulu. Para penjualnya mayoritas WNI keturunan Tionghoa dengan masakannya yang tidak perlu diragukan lagi, pasti bercita rasa tinggi. Namun terdapat pula beberapa penjual yang dari dialeg bahasanya adalah seorang dari suku jawa maupun batak. Penjual yang beraneka ragam bertemu dengan pembeli yang beraneka ragam. Terkadang lucu sekali ketika mendengar seorang pembeli berparas batak sedang menawar barang kepada penjual WNI keturunan Tionghoa dengan berbahasa Tionghoa umum, “Kuice i…? (berapa ka?) ceban ya i..? (sepuluh ribu yah ka?)” bayangkan saja kalimat itu diucapkan dengan dialeg batak, rasanya aku tak tahan ingin tertawa, apalagi si penjual menyahut dengan dialeg yang oriental, “aku udah kasi mulah (dibaca: murah) untuk eda (sebutan akrab para kaum wanita di suku batak), jangan nawal (dibaca: nawar) segitulah eda…” Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku, sungguh suasana yang sangat hangat sekali.


Perjalananku cukup melelahkan, akupun kembali ke rumah dan bersantai. Aku harus menikmati masa liburanku sebelum nantinya kembali ke kampus dan mulai sibuk dengan ‘segudang’ tugas-tugasnya yang tidak membuat berkeringat tetapi mampu ‘mengaduk-aduk’ seluruh pikiran. Tapi aku tetap mensyukuri kesempatan untuk bisa menikmati pendidikan di universitas. Aku sadar, tidak banyak orang yang memiliki kesempatan seperti ini. Hal ini membuatku teringat kegiatan bakti sosial yang baru-baru ini diselenggarakan oleh fakultasku untuk anak-anak jalanan. Mereka diajak berkeliling kampus, mengikuti berbagai permainan yang memang dirancang untuk anak seusia mereka serta acara talent show dan ditutup dengan makan bersama. Dalam perenunganku ketika mengingat mereka, aku selalu melihat Tuhan sebagai sosok yang luar biasa kreatif yang menempatkan orang-orang dengan berbagai perbedaan tidak hanya suku, agama, budaya, tetapi juga usia, status sosial dan faktor yang umumnya dijadikan orang sebagai pembeda. Bertemunya setiap perbedaan itu justru menjadi sesuatu yang unik, tidak heran ‘mata’ internasional sangat terpesona dengan keragaman budaya bangsa ini, hal ini juga membuka hati dan pikiran setiap orang bahwa hidup bukan diri kita atau golongan kita saja, tetapi ada masyarakat luas. Tak hanya itu, aku tertegur pula bahwa hidup bukan bagaimana kita memenuhi kebutuhan hidup kita pribadi, tetapi hidup adalah berbagi. Kalau status kita lebih tinggi dari orang lain, itu hanya kebetulan kita sedang berada di atas, dan bukan berarti kita tidak punya tanggung jawab untuk mereka yang ada di bawah.
Entahlah, aku merasa bangsa ini terlalu banyak ketinggalan. Bahkan bangsa ini seolah-olah bukan saja sedang ‘jalan di tempat’, tetapi sedang mengalami penurunan, khususnya dalam hal moral. Terlalu banyak masalah yang dialami bangsa ini, bencana alam, masalah keuangan, pendidikan, yang intinya adalah masalah kurangnya kesejahteraan rakyat.



Aku sangat heran jika dimasa-masa krisis seperti ini, masih banyak pihak yang mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang seharusnya dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk memperindah jalannya kehidupan bersama di bangsa ini. Tidak semua Negara memiliki keunikan seperti di Negara ini. Jika pribadi masyarakat Indonesia masih didoktrini istilah, perbedaan adalah hal yang membedakan dan harus dibeda-bedakan, entah sampai kapan bangsa ini akan lepas dari keterpurukannya dan bangkit kembali. Apakah kita akan kembali diam apabila terjadi kembali kejadian seperti saudara kita di Timor Timur (dahulu. Sekarang Negara Timor Leste) telah melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah kita akan tetap diam ketika kita tidak mampu mempertahankan pulau-pulau kecil milik bangsa ini ketika di claim menjadi milik bangsa lain seperti Pulau Sipadan dan Ligitan? Seharusnya itu yang dibahas ‘mati-matian’ bukan perbedaan-perbedaan yang tidak pantas dijadikan sebagai masalah.

Seharusnya kita justru menjadi gelisah dan sibuk ketika melihat saudara-saudara kita yang berada di garis kemiskinan, yang tertimpa bencana, saudara kita yang tidak bisa menikmati pendidikan, yang tidak mendapatkan kesejahteraan hidup seperti yang kita nikmati saat ini, bukannya gelisah dan sibuk ketika ‘sang provokator’ mulai memainkan strateginya untuk memecah belah bangsa ini dan kita dengan cepatnya terbawa emosi dan begitu sigapnya segera bertindak. Mengapa kita tidak sesigap itu ketika melihat orang lain menderita?

Aku tidak tahu mengapa Tuhan menganugerahkan kehidupan seperti ini dalam hidupku, tidak berkelimpahan, tetapi tidak pula kekurangan.

Tidak diberikan prestasi yang memukau, tetapi tidak pula menjadi orang yang tertinggal.

Aku juga tidak tahu mengapa aku dilahirkan dikeluarga Batak dengan iman yang kuyakini
dan aku juga tidak mau mempermasalahkan mengapa orang-orang memiliki suku, agama, kebudayaan, status maupun kebiasaan yang berbeda denganku. Aku hanya meyakini aku yang ada saat ini dengan segala keberadaanku bukan suatu kebetulan, tetapi ada suatu rencana Tuhan yang besar dalam hidupku, yaitu berbagai kasih dengan setiap orang tanpa membedakan mereka.

Liburanku dan perjalananku kali ini sungguh membuka hati dan pikiranku yang mungkin saat aku kecil tidak sempat ataupun tak mampu aku pikirkan. Akhirnya liburanku usai, aku kembali ke kota perantauanku, Depok. Kesibukan sebagai mahasiswa kembali kutekuni namun kali ini berbeda, setidaknya aku punya pandangan baru dalam melihat sekitarku yang dipenuhi perbedaan-perbedaan. Kalaupun aku tidak mampu menyuarakan kepada bangsa ini untuk memperkokoh persatuan, setidaknya aku mampu mengubah pikiranku sebagai bagian dari individu bangsa ini dan berharap kelak akupun mampu menyuarakannya mulai dari lingkungan terdekatku.
Berhentilah bersikap bodoh. Bersatulah bangsaku!


Berhentilah bersikap bodoh. BERSATULAH INDONESIAKU!




Shanshan dalam perenungannya..


note: gambar pada tulisan ini sebagian besar diambil dari berbagai media.

2 komentar:

  1. PERSATUAN tidak sekadar berasal dari keinginan untuk bersatu, melainkan dari KETIDAKMAMPUAN untuk berpisah...

    Hargai perbedaan, lupakan perseteruan, rangkul persaudaraan... untuk satu Indonesia...

    p.s: artikel yg bagus, Shanty!

    BalasHapus
  2. @ bang Sam: totally agree with you bro.. iya, persatuan juga berasal dari ketidakmampuan untuk berpisah.. nice statement ^_^

    makasih komennya, amatiran bro..pantau trus ya bang, kasih masukan ^_^

    BalasHapus