Minggu, 18 Juli 2010

BUDAYA BACA CALON PEMIMPIN BANGSA

PEMIMPIN BIJAK MEMBACA NEGERINYA

Indonesia…
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki daratan dan perairan yang luas.Wilayah kepulauan ini didiami penduduk dengan jumlah sangat besar sekitar 238.000.000.000 ( dua ratus tiga puluh delapan juta) jiwa dengan laju pertumbuhan per tahun sebesar 1,25 % (satu koma dua puluh lima persen). Tidak hanya itu,
Indonesia adalah Negara yang besar dengan masyarakat yang beraneka ragam budayanya, beraneka ragam mata pencaharian dengan tingkat perekonomian yang berbeda pula. Sejarah Bangsa ini menambah warna pada perjalanan kehidupan masyarakatnya. Keheroikan semangat juang pahlawan dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah, jiwa pemuda generasi Bangsa yang berapi-api menyuarakan aspirasinya demi kesejahteraan masyarakat, munculnya Kartini-Kartini Bangsa yang berjuang mencerdaskan kaum wanita dan menempatkannya pada posisi yang berharga dan mulia di Negeri ini. Kebiasaan baik yang hidup dan tumbuh menjadi ciri khas Bangsa yang masih diperhitungkan dunia, keramah-tamahannya, jiwa gotong royong, tepo seliro, serta kehidupan kultur yang memperkaya Bangsa ini. Namun sayang, kebiasaan burukpun telah mendarah daging menjadi racun yang sedang menggerogoti tubuh Bangsa ini, pelecehan terhadap nilai original sebuah karya dengan pembajakan maupun pemalsuan serta Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menjadi pertanyaan, apakah pemimpin-pemimpin Bangsa ini mengenal Negeri dan rakyatnya? Apakah pemimpin-pemimpin Bangsa ini memahami kebutuhan Negaranya dan mampukah mereka menemukan solusinya? Adakah mereka memberikan hati, pikiran, dan waktu mereka untuk sejenak memandang Negerinya tidak sekedar mengenal sampul, tetapi sampai kedalaman isinya, merenungi serta bercermin dari sejarah Bangsanya dan pada akhirnya membuka mata lebar-lebar pada kehidupan nyata rakyatnya saat ini?


Sebuah literatur menyebutkan,
“Pemimpin adalah pembaca, dan pembaca adalah pemimpin.”

Seseorang berada pada posisi selangkah lebih maju karena memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar dari pesaingnya. Membaca adalah latihan mental dari kualitas yang terbaik. Hampir tanpa kecuali, semua orang yang sukses di dunia ini adalah mereka yang suka membaca. Literatur menyebutkan, semua pemimpin adalah pembaca yang baik. Mereka begitu ingin tahu sehingga hal tersebut menggiring mereka untuk terus membaca. Dunia terlalu luas untuk dikenal dan dipahami, tetapi buku dapat menyajikannya lebih sederhana untuk dijangkau. Bagi pemimpin Mesir Kuno, buku bisa senilai dengan wilayah kekuasaan.

Julius Caesar konon pernah membuktikannya. Dalam suatu ekspansi kerajaan Romawi ke Mesir, ia pernah terjebak dalam sebuah perpustakaan. Tentara Mesir sudah menutup semua jalan keluar. Namun para tentara kemudian melepaskannya. Mereka memilih melindungi perpustakaan negara yang berisi himpunan karya tulis para cendikiawan. Betapa berharganya tulisan-tulisan itu, tinggal bagaimana orang mau memanfaatkannya secara maksimal.
Namun kenyataannya, petinggi-petinggi Negeri kita masih banyak tidak gemar membaca dan tidak membudayakan membaca.
Jika mereka gemar membaca tentu saja fasilitas untuk kegiatan membaca di negeri ini akan mendapat perhatian khusus. Bukti konkritnya ketidakmampuan pemerintah merangsang minat baca masyarakat sejak 1960. Ribuan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dibangun hingga pelosok nusantara. Lewat puluhan tahun, Republika Online melansir, dari 7000 TBM yang dibina, 5500 diantaranya vakum. “Perpustakaan mengandung kebijaksanaan dari berbagai zaman.” Demikianlah sebuah literature mencoba mengungkapkan betapa pentingnya wadah membaca demi ilmu pengetahuan yang mungkin masih sulit dipahami di Negeri ini.
Tidak ingin menyalahkan para petinggi di Negara ini, namun ibarat kata pepatah, ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari’ demikianlah budaya baca di Negeri ini. Petinggi tidak hobi membaca, masyarakatnya juga tidak gemar membaca. Siapa penyedia fasilitas baca di Negeri ini? Tentu saja Pemerintah. Jika tidak maksimal, bagaimana masyarakat dapat menggemarinya? Padahal hasil penelitian menyebutkan bahwa budaya baca suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Jepang misalnya, Negara yang kecanggihan teknologinya hampir menyamai Amerika ini, mendorong generasi muda rutin membaca sejak dini.

Hasil penelitian sebuah badan PBB, UNESCO, melaporkan mahasiswa di negara maju rata-rata membaca 8 (delapan) jam sehari. Sedangkan di Negara berkembang seperti Indonesia, hanya 2 (dua) jam sehari. Kebiasaan ini kemudian menunjukkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Begitu juga kualitas pemimpinnya. Jika tulus ingin menjadi pemimpin jadilah seorang pembaca.




Negeri Bicara Dengan Tulisan!

Apa yang dilakukan seorang Pemimpin di pagi hari sebelum memulai aktivitasnya? Pemimpin berhati rakyat akan bertanya pada dirinya, “Apa yang terjadi di Negeriku ketika aku tidur lelap tadi malam?” Pemimpin tidak dituntut untuk segera memantau ke lapangan, ada Koran pagi yang disajikan untuk dibaca. Para pekerja media sudah berjuang keras meliput dan menyajikannya agar setiap pemimpin tidak buta dan tuli soal Negeri. Bangsa tidak memiliki mulut untuk berbicara, dan seluruh Rakyat pada Negara Kepulauan ini tidaklah mungkin dapat menyampaikan perkataannya kepada sang pemimpin waktu demi waktu. Jika Pemimpin ingin mengenal Bangsa dan Rakyatnya, mulailah membaca, bukan sebagai formalitas, tapi jadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari. Seorang pemimpin Negara sebut saja Presiden di Negeri ini dapat dipastikan tidak akan pernah mampu menjelajahi seluruh wilayah Negaranya.
Mungkin saja Presiden kita belum pernah melihat bagaimana rakyatnya di wilayah pedalaman Nusa Tenggara Timur menunggu hujan untuk mandi dan menyaring air hujan dengan sebuah saringan yang biasa kita gunakan untuk menyaring serbuk ketika hendak membuat teh, selanjutnya mandi di wilayah padang rumput yang luas karena tidak tersedianya fasilitas sanitasi dan tidak mengerti manfaat adanya sanitasi. Beliau juga mungkin tidak mengetahui bahwa wanita hamil di Perkampungan kawasan Papua tidak diberikan perlakuan berbeda dari orang pada umumnya.
Jika sehari-harinya bekerja mengangkat barang yang berat, ketika hamilpun tetap demikian, tidak ada pengecualian, serta para suami memiliki banyak selir atau perempuan pendamping yang bukan istrinya menjadi hal yang lumrah. Bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah Presiden kita mengetahui bahwa wilayah Selatan Provinsi Sumatera Utara jauh lebih mementingkan perhiasan yang menempel di seluruh tubuh daripada berjuang untuk meraih pendidikan yang lebih baik. Demikian pula di Perkampungan perbukitan Tapanuli bagian Selatan masih sulit ditemukan sekolah untuk warganya. Miris juga jika untuk 5 (lima) desa yang memiliki jarak yang berjauhan yang harus ditempuh dengan waktu 2-3 jam perjalanan dengan berjalan kaki hanya memiliki 1 (satu) sekolah Dasar, memiliki 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan harus merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)? Kita patut bersyukur kepada relawan-relawan yang memberikan dirinya melayani masyarakat di daerah tertinggal di pedalaman dan menyajikan pengalamannya dalam bentuk tulisan yang disebarkan dalam media baik media cetak maupun media elektonik, seperti media internet yang marak digunakan masyarakat untuk mendapatkan berita. Semoga saja Pemimpin kita menyempatkan dirinya membaca informasi-informasi tersebut dan bertindak.




Bercermin dari Sejarah,

Sejarah adalah masa lalu, tetapi sejarah adalah guru. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Belajar dari sejarah tidak merendahkan pemikir-pemikir pada masa ini, tetapi usaha memperbaiki keadaan sekarang dengan bercermin pada masa lalu yang biasa kita sebut introspeksi. Kehidupan sekarang didahului kehidupan terdahulu. Apa yang terjadi sekarang mungkin pernah terjadi pada masa lampau, begitu pula permasalahan yang ada bisa saja pernah muncul dalam kemasan yang berbeda. Dengan demikian, tulisan pada masa lampau dapat saja menjadi sumber inspirasi, ataupun cerminan dalam menemukan solusi permasalahan di masa kini. Pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Pengalaman yang tertuang dalam bentuk tulisan akan menjadi guru yang sangat berharga bagi para pemimpin besar suatu Negara. Jika ingin menjadi pemimpin yang besar, cerdik dan berintelektual, hendaknya menjadi pembaca yang setia.


Indonesia di masa lalu pernah mengalami masa jaya, misalnya di bidang olahraga khususnya bulu tangkis. Juara olimpiade bulutangkis dan peraih piala Thomas Cup maupun Uber Cup adalah Negeri kita Indonesia. Namun kenyataannya saat ini olahraga bulutangkis di tanah air mengalami penurunan. Saat ini penting bagi pemimpin kita belajar dari sejarah bangsa, sejarah dunia olahraga bulutangkis di Indonesia. Mengapa dahulu kita berjaya? Dimana letak kelebihan kita di masa lalu? Apa kelemahan kita di masa ini? Ini hanya dapat dijawab kalau kita mau memberi waktu untuk membaca, merenungi, dan memahami sejarah.


Indonesia pernah mengalami Krisis perekonomian yang sangat luar biasa di masa lalu. Kebijakan pemotongan nilai uangpun dilakukan yang menyebabkan banyak orang jatuh miskin. Akan tetapi itu tidak menjadi moment kejatuhan Bangsa ini. Perekonomian kala itu mampu dipertahankan dan dinaikkan hingga kembali pada keadaan yang kondusif. Apakah ini tidak menjadi pelajaran dan motivasi yang besar bagi kita saat ini? Seandainya saja pemimpin kita memberi waktu lebih banyak untuk membaca dan memahami sejarahnya.


Budaya Baca Pemimpin Besar Terdahulu,

Mari bercermin dari Pemimpin Dunia terdahulu.
Mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat menjelang ajalnya di usia 80 tahun masih terus membaca buku, yang terbukti dari ditemukannya sebuah buku di bawah bantalnya, sesaat setelah ia meninggal. Belajar dari Pemimpin Bangsa Abraham Lincoln bahkan Adolf Hitler, pemimpin harus mampu membaca “negara” dan “masyarakat”. Dengan membaca “negara”, pemimpin menganalisa peluang dan tantangan di daerah kepemimpinannya. Selanjutnya, membaca “masyarakat”. Dengan upaya ini, pemimpin berusaha membangun jembatan komunikasi dengan rakyat yang selama ini “tersumbat”. Abraham Lincoln bisa menjadi Presiden Amerika, bukan karena gelar akademisnya, tapi kegemaran membacanya.
Bagaimana dengan Pemimpin Terdahulu Bangsa ini? Kita memiliki tokoh-tokoh hebat di negeri ini yang terbentuk dari kebiasaannya membaca. Adam Malik bukan sarjana, tapi karena gemar membaca bisa menjadi wakil presiden. Bung Karno penggila baca dan jejak-jejak pemikirannya bisa kita peroleh di buku-buku warisannya.
Masih banyak lagi Pemimpin besar yang memiliki pemikiran besar buah dari kegemaran membacanya. Menjadi tantangan bagi para pemimpin bangsa kita di masa sekarang ini, apakah membaca adalah kebutuhan bagi keseharian hidup? Mampukah pemimpin kita memimpin dirinya untuk gemar membaca? Tidak perlu susah menyusun list kriteria yang panjang bagi calon pemimpin di Negeri ini. Ujilah terlebih dahulu dengan hal yang sederhana tetapi bermakna besar, “Inginkah mereka mengenal Bangsa ini? Gemarkah mereka membaca?”



Tetap Belajar, dan jadilah Bijak!


Belakangan ini menjadi tahun yang sibuk bagi elite politik dan petinggi-petinggi di Negeri ini, sibuk dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Umum anggota Legislatif, dan di berbagai daerah menyelenggarakan Pemilukada untuk memilih pemimpin daerahnya masing-masing. Telah banyak pemimpin-pemimpin yang dihasilkan, dan terlihat sibuk, sibuk mengurusi Negeri ini, begitu idealnya. Satu pesan sederhana dari literatur ini bagi mereka pemimpin-pemimpin Negeri ini, Jika engkau mencintai Bangsa ini, tetaplah Belajar, bercerminlah dari Sejarah Bangsamu dan Pemimpin terdahulumu, serta jadilah bijak. Jika kita mengenal strategi Perang Tsun Zhu yang menyebutkan, “Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan pertempuranmu, maka kemenanganmu tidak akan tergoyahkan,” maka kita akan mengenal lebih banyak strategi-strategi lain dengan membaca. Kenali Bangsamu, kenali Penantangmu, Kenali wilayah dimana engkau berpijak, maka kepemimpinanmu akan menjadi teladan bagi pemimpin-pemimpin di masa yang akan datang, itu pun jika mereka membaca sejarah kepemimpinanmu di dalam buku. Dunia tidak terlalu sulit untuk dikenali, dan masalah tidak selamanya menemukan jalan buntu, gemarlah membaca.

(Sofiarli dan keinginannya meningkatkan minat baca terutama dalam dirinya)

2 komentar:

  1. Bagus artikelnya dut...keren pemikirannya....two thubs up...
    Sangat setuju harus dibudayakan membaca...hehe..tapi yang ga kalah pentingnya adalah budaya menulis juga kayanya ya..klo ga ada tulisan - tulisan bagus cem ini, gimana mau membudaya kegiatan membaca ya ga????

    BalasHapus
  2. @DUDUY: thankyou komentarnya duy... dulu zaman2 kuliah, rasanya sesibuk apapun..pasti selalu ada waktu buat nulis.. sekarang, kok susah banget dapet moment yang pas buat nulis.. niatnya kali yah masih kurang pol.. hehehehhehe.. ya deh.. semangat..semangat..

    ayo menulis lagi karya-karya inspiratif lainnya...

    BalasHapus